Suatu ketika, sahabat saya memperkenalkan calon tunangannya kepada kami para sahabatnya di sebuah restoran. Pertemuan itu memang ditujukan untuk memperkenalkan pria ini dan ia meminta penilaian tentang pria tersebut dari kami orang terdekatnya. Pada saat pertemuan pertama itu, sang pacar terlihat sekali dominan dengan pembicaraan kami. Bisa bayangkan, lima orang perempuan yang biasanya sangat berisik bersahut – sahutan dan tertawa seperti tidak ada orang lain di sekitar kami, dibuat bungkam dengan pacar teman kami ini. Jika ada omongan dari kami yang tidak sependapat dengan opini nya maka dia akan mematahkan omongan kami dan berdebat dengan cara yang sangat tidak menyenangkan. Cara dia menatap pun layaknya orang yang mencari permusuhan. Ketika dia pulang duluan, sahabat saya lantas meminta pendapat kami tentang calon tunangannya tersebut. Dari cara dia bertanya dengan sumringah dan berapi – api kami semua tahu bahwa hanya pendapat postif lah yang ingin ia dengan tentang pacarnya. Kami saling lirik satu sama lain dan sepakat untuk tidak bicara hal yang membuat patah semangat sahabat kami tersebut. “Keren kok, tinggi dan badannya kekar. Cocok lah sama kamu, ganteng juga jadi kan ga malu – maluin kalau berdiri di pelaminan nanti,” jawab kami kompak dan kaku.
Setelah pertemuan tersebut, kami mulai saling menunjuk satu sama lain siapa yang harus mengungkapkan isi hati kami. Hati kecil kami meragukan calon tunangan sahabat kami. Apakah dia bisa menjadi calon suami yang baik buat sahabat kami. Namun kami juga ragu dan sungkan untuk membicarakan hal ini padanya. Kenapa juga kami harus merusak kebahagiaanya, begitu pikir kami saat itu. Waktu pun berlalu hingga pernikahan itu pun terjadi. Kami lega ketika melihat senyum lebar sahabat kami di pelaminan. Tidak hanya itu pesta pernikahannya pun sangat indah dan berkesan. Setahun kemudian, tiba – tiba sahabat saya ini mengirimkan teks di grup messenger kami, “Ada yang punya kenalan lawyer ga? Gw mau divorce sama dia.” Saat kami tanyakan alasannya, dia bercerita sambil menangis. Dia tidak pernah bisa mengungkapkan apapun pada suaminya. Suaminya sangat arogan dan selalu melakukan kekerasan verbal. Kata – kata yang diucapkan suaminya setiap hari tidak pernah berupa pujian namun berupa torehan luka di hati sahabat saya. Senjata suaminya ketika sahabat saya mencoba melawannya adalah mengusirnya. Tidak peduli siang atau tengah malam, jika sudah bertengkar maka sahabat saya akan mengungsi kerumah orangtuanya karena diusir oleh suaminya sendiri dan hal itu berlangsung terus – menerus. Kami sebagai sahabat ikut menyesal dengan kejadian ini. Kalau saja waktu bisa diulang, kami harusnya mengungkapkan bagaimana isi hati kami saat perkenalan dulu.
Lain lagi dengan sahabat saya yang lain. Suatu ketika dia mengirimkan saya foto – foto dirinya dipenuhi lebam biru dan luka darah fresh. Dia cerita bahwa dia baru saja bertengkar dengan pacarnya dan tiba – tiba pacarnya memukulinya hingga terluka. Saya tahu kalau dia tidak bisa berpisah dengan pacarnya tersebut, bahkan mereka baru saja merencanakan untuk bertemu dengan orangtua membicarakan masalah pernikahan. Ketika hal ini terjadi, saya dengan tegas dan keras meminta sahabat saya untuk berpikir ribuan kali jika mau menikah dengan pria ini. Jarang sekali ada orang yang bisa merubah perilakunya, jika baru pacaran saja sudah bisa menyakiti seperti itu bagaimana nanti setelah menikah. Beruntung, sahabat saya mau mengerti dan minta saya mendoakan dia agar bisa move on dari pacarnya.
Pertanyaannya sekarang adalah, patutkah kita sebagai sahabat memberi masukan dan kritik untuk sahabat kita yang memperkenalkan pasangannya kepada kita? Apakah kita boleh mengatakan kepada sahabat kita tentang sesuatu yang kita anggap salah dan aneh dari pasangannya? Jika kita sayang kepadanya, tentu hal ini harus kita lakukan sebab orang yang sedang jatuh cinta biasanya menutup mata untuk hal – hal yang seharusnya dipikirkan matang – matang. Kita sebagai sahabatnya justru wajib memberinya arahan. Namun setidaknya ada empat hal yang patut kita perhatikan saat memberi penilaian tentang pasangan sahabat kita.
1. Jangan menilai soal remeh – temeh
Usahakan untuk tidak menilai dari hal – hal yang tidak penting seperti cara berpakaian, fisik, merek mobil, tanda lahir, cara tertawa, gaya rambut atau hal – hal lainnya yang dirasa tidak akan berpengaruh besar terhadap kehidupan rumah tangga.
2. Tegas katakan tidak untuk narkoba dan si ringan tangan
Jika kamu tahu bahwa calon tunangan sahabat kamu ini adalah pengguna narkoba dan selalu berbuat kasar dengan memukul sahabat kamu, hendaknya kamu tegas berbicara padanya untuk berpikir saat menerimanya menjadi suaminya. Tanyakan padanya, apakah dia siap dengan segala bentuk perlakuan sang suami nantinya. Katakan juga jangan berharap dia bisa merubah pasangannya kelak.
3. Ikhlas
Pastikan kamu ikhlas dan tulus ketika menilai pasangan sahabat kamu ya. Banyak kasus, mereka tidak mau ditinggal temannya menikah karena dirinya sendiri belum punya pacar, hehehe. Jangan seperti ini ya. Nilailah pasangan sahabat kita apa adanya sesuai dengan isi hati kita bukan karena kita dengki dan iri ditinggal menikah.
4. Berdoa
Ketika kamu telah menyampaikan isi hati dan pendapat kamu, selanjutnya kamu serahkan sepenuhnya untuk sahabat kamu memutuskan pilihannya. Minta kepadanya untuk berdoa dengan sungguh – sungguh agar dia bisa memilih pria yang terbaik dalam hidupnya. Jangan lupa kamu juga mendoakannya agar sahabatmu senantiasa bahagia dengan pilihannya kelak.
Mungkin sebagai sahabat kita terbiasa bicara apa adanya. Namun untuk masalah penilaian calon pasangan hidup sahabat kita, kamu harus menyampaikannya dengan hati – hati ya. Agar ia tidak merasa kamu terlalu mencampuri urusannya namun tidak lain karena kamu sayang kepadanya.