Terlahir sebagai keturunan Batak-Jawa, sejak kecil telinga saya sudah begitu akrab dengan wejangan Ibu mengenai bobot, bibit, bebet. “Nek nggoglek suami, ndelok bobot, bibit, bebet ne, nduk. Ojo waton milih.” (kalau mencari suami, lihatlah bibit, bobot, dan bebetnya, nak. Jangan asal memilih). Awalnya, saya tidak mengerti maksud nasihat tersebut. Seiring dengan berjalannnya waktu, saya pun mulai memahami esensi dari falsafah Jawa dalam memilih pasangan hidup.
Basically, bibit, bobot, dan bebet adalah filosofi yang dipegang erat oleh masyarakat Jawa saat menentukan pasangan hidup. Falsafah ini diajarkan secara turun-temurun ke generasi berikutnya, dengan harapan anak-cucu mereka nggak salah memilih pasangan hidup. Meski tidak terlalu pemilih, masyakarat Jawa memang tergolong sangat hati-hati dalam memilih jodoh. Sebab, salah memilih jodoh dapat berdampak pada buruknya kualitas pribadi, anak, dan keluarga di masa depan.
Nah, regardless your ethnicity, nggak ada salahnya kamu menerapkan filosofi ini dalam menentukan jodohmu, brides-to-be. Seperti apa sih filosofinya?
Bobot
Yang satu ini meliputi kualitas diri pasanganmu, baik lahir maupun batin. Bobot meliputi pemahamannya terhadap agama, keimanan dan ketaatannya, pendidikan, pekerjaan, tata krama, inner beauty, dan perilaku.
Saat sang anak ingin masuk ke tahap hubungan yang lebih serius, biasanya orang tua akan ikut campur untuk melihat bobot sang calon menantu. Tujuannya nggak lain adalah meyakinkan bahwa anak tersayang akan berada di tangan pria yang bertanggung jawab dan baik hati. Dengan kata lain, bobot bertujuan untuk melindungi dan menghormati harkat dan martabat wanita, brides. Dengan memperhatikan bobot sang calon menantu, masyarakat Jawa juga menginginkan agar anak-anaknya tidak terpesona dengan kekayaan duniawi yang dimiliki pasangannya.
Bibit
Poin kedua ini menyangkut asal usul pasangan. Sebelum memutuskan untuk menikah, umumnya keluarga Jawa akan mencari tahu latar belakang pasangan. Meski demikian, nggak berarti kamu harus mendapat pasangan ‘berdarah biru’ juga, brides. Setidaknya, kamu tahu bahwa pasanganmu berasal dari keluarga baik-baik dan memiliki silsilah yang jelas. Ketika mengetahui ‘akar’ yang jelas, ini bisa menjaga terjadinya hal-hal yang nggak diinginkan di masa mendatang.
Bahkan, masyarakat Jawa sungguh-sungguh serius dalam menjaga bibit sebagai bentuk tanggung jawab atas kualitas mental dan spiritual generasi selanjutnya. Ibarat menanam buah-buahan, bibit yang baik pasti akan melahirkan buah yang baik juga, brides.
Bebet
Nah, poin ketiga adalah bebet yang berarti status sosial, meliputi harkat, martabat, dan prestise. Meski bebet penting, masyarakat Jawa menempatkan kriteria ini di posisi ketiga karena mereka tidak mau terobsesi oleh harta dan kepuasan duniawi yang fana. Walaupun tak dipungkiri keberadaan materi memang penting dalam melangsungkan hidup.
Apa filosofi yang kamu pegang dalam menentukan pasangan, brides-to-be? Yuk share pendapat kamu di kolom comment di bawah ini.