Pernikahan Jawa Kolonial ala Alyta dan Gilang

By NSCHY on under The Wedding

Pernikahan Jawa Kolonial ala Alyta dan Gilang di Financial Hall Graha CIMB Niaga Jakarta

Style Guide

Style

Traditional

Venue

Hall

Colors

Vendor That Make This Happened

Venue Financial Hall, Graha CIMB Niaga

Event Styling & Decor Aryagati Decoration

Photography Delucce

Make Up Artist Fitri Liza

Hair Do Sanggar Liza

Bride's Attire Sanggar Liza

Wedding Organizer Senyum Cinta Wedding Organizer

Wedding Entertainment Jova Musique Entertainment

Catering Inhouse Catering (Financial Hall)

Hubungan Alyta dan Gilang bisa terbilang sudah sama-sama cocok sejak awal pertama kali mereka bertemu. Dalam kencan pertamanya, mereka mengaku tidak ada rasa sungkan, malu atau bahkan gengsi dan jaim.

“Saat first date, kita saling bercerita hubungan masa lalu dan menertawakan pengalaman masing-masing, nyaman sekali rasanya.”

Kenyamanan tersebutlah yang membawa mereka komitmen untuk menjalani hubungan yang lebih dekat pada bulan Juli 2015 silam dan akhirnya memutuskan untuk menikah di akhir tahun 2017.

Meskipun datang dari latar belakang keluarga yang berbeda, Alyta yang lahir dari orang tua yang menikah pada usia muda, sedangkan orang tua Gilang menikah di usia 30 tahun, namun mereka berdua berhasil menemukan titik tengah dan berkomitmen untuk sama-sama menjalin rumah tangga di penghujung tahun 2017.

“Keputusan kita untuk menikah diawali tanpa lamaran romantis- semua dibicarakan secara rasional secara diskusi antara kita.”

Untuk menyiapkan pernikahan ini, Alyta dan Gilang cukup memiliki waktu yang lama; sejak bulan November 2016, mereka sudah menyewa gedung venue pernikahan yang mereka inginkan.

“Satu pesan dari mamaku, harus pakai paes Solo karena ini adalah momen sekali seumur hidup.”

Untuk pakaian resepsi, Alyta mengenakan kebaya bludru hitam panjang yang sesuai dengan konsep kolonial. Awalnya, Ibunda Alyta menyarankan untuk mengenakan pakaian Solo Basahan, sama seperti pernikahannya dan sang nenek, namun mengingat konsep pernikahan Alyta ini adalah mingle, rasanya pakaian tersebut kurang aplikatif walaupun Alyta sangat menginginkan pakaian tersebut.

“Tapi, dua bulan sebelum acara, aku bertemu dengan kerabat keraton. Ia menyayangkan keputusanku untuk tidak mengenakan pakaian Solo Basahan. Katanya, ‘kalau bukan kita yang melestarikan, siapa lagi?’. Akhirnya, H-60 sebelum acara, saya memutuskan untuk mengganti busana akad nikah, dari kebaya putih, menjadi Solo Basahan.”

Setelah diskusi yang cukup matang, akhirnya Alyta dan Gilang mengenakan bolero dan beskap pada waktu akad (Solo Basahan Keprabon), lalu dilepas pada saat prosesi panggih. Prosesi panggih tersebut hanya berjalan dalam waktu 30 menit, namun Alyta merasakan kepuasan tersendiri karena ia akhirnya benar-benar bisa mengenakan Solo Basahan, sama seperti sang ibu dan eyangnya.

Untuk hari spesial mereka, dekorasi Jawa Kolonial-lah yang terpilih sebagai konsep dekorasinya. Konsep kolonial berdominasi warna putih, lampu klasik dan motif tegel kunci dapat terlihat di sekitar pelaminan. Untuk kursi pelaminan pun juga dibuat dari rotan, begitu pula kotak angpao.

“Kita tidak menggunakan foto pre-wedding, untuk menambahkan kesan old, kita memajang foto-foto kita selama pacaran, serta foto pernikahan kedua orang tua dan keempat kakek-nenek kita.”

Karena ingin sebuah pesta pernikahan yang hangat, Alyta dan Gilang hanya mengundang 350 orang terdekat saja. Dengan konsep pernikahan yang intimate, niat awalnya Alyta dan Gilang tidak ingin berlama-lama di pelaminan karena ingin mingle dengan para tamu. Namun nyatanya, banyak sekali tamu yang ingin berfoto dan alhasil mereka baru bisa turun dari pelaminan saat acara hampir selesai.

Menurut Alyta, meski persiapan pernikahan ini sudah direncanakan dari jauh-jauh hari, namun pasti akan ada kendala yang dihadapi, seperti contohnya vendor yang tidak tepat waktu. Souvenir yang ia pesan seharusnya sudah siap pada awal bulan Oktober, namun nyatanya, pada pertengahan bulan November, atau dua minggu sebelum acara berlangsung souvenir tersebut baru siap. “Kadang, karena terlalu fokus mengurus persiapan, kita juga bisa lupa lho quality time dengan pasangan.” tambah Alyta.

Persiapan pernikahan yang panjang dan matang tersebut akhirnya dapat ditutup dengan berdansa dan menari-nari bersama di atas rerumputan sambil bersyukur bahwa semuanya berjalan dengan lancar. Selamat untuk Alyta dan Gilang!

Top 3 vendor:

1. Aryagati Decoration

“Sangat puas dengan hasil dekorasi Mba Arya. Aku cuma bilang kalau konsep pernikahanku Jawa Kolonial, sisanya kreasi Mba Arya. Aku hanya request warna, jenis bunga dan hal-hal kecil lainnya, namun tamu dan keluarga banyak sekali yang memuji keunikan dekorasinya.”

2. Senyum Cinta Wedding Organizer

“Mas Sony dan Mas Sesar sangat membantu sejak sebelum acara. Cara Mas Sony melakukan brief dan meeting dengan keluarga sangat detail dan sopan. Di hari H pun, timnya sangat tanggap. Bahkan, saya pun sampai disuapin saat dandan demi menghemat waktu.”

3. Jova Musique

“Satu yang kami dan keluarga setuju dari awal: band yang tidak boleh terlalu kencang suaranya. Menurut kami, mengganggu tamu yang asik ngobrol. Kami juga tidak ingin memainkan lagu TOP 40 dalam resepsi. Jova Musique menyanggupi hal tersebut dan dapat membuat suasana resepsi menjadi lebih santai dengan genre jazznya. Semua lagu yang kita request dimainkan dengan apik dan membuat kami enjoy di pelaminan.”

Tips untuk brides to be,

“Buatlah timeline untuk para vendor. Jangan lupa juga untuk mengkomunikasikan semua hal dengan pasangan. Tak perlu selalu membicarakan soal pernikahan, buatlah satu hari untuk quality time dengan pasangan dimana kalian tidak membicarakan soal pernikahan sama sekali. Terakhir, percayakan semuanya kepada WO dan PIC pada hari H. Sebentar lagi kamu akan melangkah ke jenjang baru, jadi tersenyumlah!”